Tidak ada yang salah dengan tempatku yang baru.
Warna wallpaper kamarku adalah warna yang kusuka.
Kamar itu tidak terlalu besar. Tidak juga terlalu kecil.
Bersih.
bernuansa merah jambu dan warna-warna pastel krem, hijau yang lembut, dan warna keemasan yang royal.
Ada ukiran bunga-bunga tulip di tirai yang putih bersih yang menutup satu-satunya jendela besar di kamar itu.
Hanya kamar itu dan aku.
I’ve been waiting for this time since when I was staying in school dorm.
Karena aku tidak suka punya teman sekamar. Tidak pernah suka.
Semuanya baik-baik saja.
Sebelum malam itu.
Aku terbangun tiba-tiba di malam buta sekitar pukul 2 dini hari. Seketika merasakan dorongan untuk pergi ke toilet. Kamar mandi di lantaiku terkunci rapat. Ada seseorang di dalam. Aku menunggu dan menunggu. 15 menit berlalu, tapi orang itu, siapapun dia, tidak kunjung keluar dari kamar mandi. Aku mengirim pesan singkat SMS pada temanku yang tinggal di lantai yang berbeda.
“Bolehkan memakai kamar mandimu?”
Lalu aku mendengar suara seorang wanita memanggil-manggil nama seseorang.
Namaku.
Aku bergegas keluar dan menyadari bahwa itu suara temanku yang tinggal di lantai atas.
Tapi suara itu berasal dari lantaiku, dari kamar sebelah. Setahuku itu kamar seorang laki-laki. Tapi temanku ada di kamar itu. Dengan ragu aku melangkah ke kamar itu. Kamar itu terbuka lebar. Tapi gelap. Suara temanku memanggil-manggil dari kamar itu. Dia tengah tertidur di tempat tidur berselimut, mukanya penuh make-up, mabuk.
Terus terang, I was scared.
Ia sedikit merengek.
Berkata bahwa ‘si oppa’ (orang yang menghuni kamar itu) minum banyak malam itu, pulang dalam keadaan sangat mabuk, dan muntah di toilet, lalu tidak selama beberapa lama. Ia berkata bahwa ia khawatir kalau-kalau si laki-laki pingsan. Well, I didn’t care. He passed out, even if he is dead, for the better or for the worse, he chose his way, and I had nothing to do with him.
Temanku meminta tolong untuk mengetok-ngetok pintu kamar mandi, memeriksa apa laki-laki itu baik-baik saja. Aku melakukannya, tapi orang itu tak menjawab. Aku bahkan tidak berharap pintu itu terbuka. Bukan karena aku tidak ingin orang itu selamat, tapi karena aku tidak ingin melihat sosok seseorang yang tengah mabuk berat. Aku takut aku akan lari begitu saja, tak ingin menyentuh si pemabuk, dan tak akan tahan dengan bau mulut mereka, dan besok, dan besoknya lagi, tidak akan mau bertemu orang itu lagi.
Aku kembali ke kamar di mana temanku berbaring di tempat tidur. Ia mengulang-ulang ucapannya. Lagi, dan lagi.
Aku langsung kembali ke kamarku sesaat setelah itu. Kupikir, I don’t care. Why would I care if something happen to that guy?
Aku naik ke tempat tidur. Menutup kepalaku seluruhnya dengan selimut. Aku tidak peduli, begitu yang kukatakan pada diriku.
Tapi pada akhirnya aku tak bisa tidur.
“A person’s life is in dangerous, damn it!” suara itu terus-menerus berteriak di kepalaku.
Aku tidak bisa tidur sama sekali setelah itu.
Bagaimana kalau laki-laki itu benar-benar pingsan, mabuk, kedinginan, dan mati?
Hingga dua jam kemudian, kudengar pintu kamar mandi itu terbuka. Ketika aku menengok ke dalamnya, sudah tidak ada lagi orang. Tidak ada laki-laki mati. Lega.
Aku tertidur.
Sejak malam itu, aku tidak lagi melihat temanku ini dengan pandangan yang sama.
Pandangan seperti apa, bagian mana yang berubah, aku tidak ingin menjelaskannya.
Dan semuanya menjadi jelas. Kenapa Tuhan melarang orang mendekati mabuk.
Bagiku, berbicara dalam keadaan sadar adalah apa yang membuat manusia saling menghargai. Ketika aku menatap mata temanku dalam keadaan mabuk itu, aku seperti menatap mata orang yang berbeda. Apa ia benar-benar ingat siapa aku? Siapa dia? Ingat sampai sejauh mana?
Dan tiba-tiba saja menatap mata itu, aku merasa seperti menatap mata seseorang yang tidak sepenuhnya ada di situ. And I can’t help but ignoring everything she said.
Life isn’t perfect, is it?
and it never will.
I always knew that.
And then I’ll remind my self that I am lucky to even have a life at all.